Rabu, 21 Januari 2009

Pramuka

Detik Kelahiran Pramuka

Latar Belakang Lahirnya Gerakan Pramuka
Gerakan Pramuka lahir pada tahun 1961, jadi kalau akan menyimak latar belakang lahirnya Gerakan Pramuka, orang perlu mengkaji keadaan, kejadian dan peristiwa pada sekitar tahun 1960.
Dari ungkapan yang telah dipaparkan di depan kita lihat bahwa jumlah perkumpulan kepramukaan di Indonesia waktu itu sangat banyak. Jumlah itu tidak sepandan dengan jumlah seluruh anggota perkumpulan itu.
Peraturan yang timbul pada masa perintisan ini adalah Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, tanggal 3 Desember 1960 tentang rencana pembangunan Nasional Semesta Berencana. Dalam ketetapan ini dapat ditemukan Pasal 330. C. yang menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang kepanduan adalah Pancasila. Seterusnya penertiban tentang kepanduan (Pasal 741) dan pendidikan kepanduan supaya diintensifkan dan menyetujui rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 Ayat 30). Kemudian kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powellisme (LampiranCAyat8).
Ketetapan itu memberi kewajiban agar Pemerintah melaksanakannya. Karena itulah Pesiden/Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan tokoh-tokoh dan pemimpin gerakan kepramukaan Indonesia, bertempat di Istana Negara. Hari Kamis malam itulah Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti, seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu yang disebut Pramuka. Presiden juga menunjuk panitia yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Menteri P dan K Prof. Prijono, Menteri Pertanian Dr.A. Azis Saleh dan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, Achmadi. Panitia ini tentulah perlu sesuatu pengesahan. Dan kemudian terbitlah Keputusan Presiden RI No.112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961, tentang Panitia Pembantu Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka dengan susunan keanggotaan seperti yang disebut oleh Presiden pada tanggal 9 Maret 1961. Ada perbedaan sebutan atau tugas panitia antara pidato Presiden dengan Keputusan Presiden itu. Masih dalam bulan April itu juga, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 121 Tahun 1961 tanggal 11 April 1961 tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Anggota Panitia ini terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, sebagai Lampiran Keputusan Presiden R.I Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961 tentang Gerakan Pramuka.

KelahiranGerakanPramuka

Gerakan Pramuka ditandai dengan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan yaitu 1. Pidato Presiden/Mandataris MPRS dihadapan para tokoh dan pimpinan yang mewakili organisasi kepanduan yang terdapat di Indonesia pada tanggal 9 Maret 1961 di Istana Negara. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI TUNAS GERAKAN PRAMUKA
• Diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961, tentang Gerakan Pramuka yang menetapkan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak dan pemuda Indonesia, serta mengesahkan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka yang dijadikan pedoman, petunjuk dan pegangan bagi para pengelola Gerakan Pramuka dalam menjalankan tugasnya. Tanggal 20 Mei adalah; Hari Kebangkitan Nasional, namun bagi Gerakan Pramuka memiliki arti khusus dan merupakan tonggak sejarah untuk pendidikan di lingkungan ke tiga. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI PERMULAAN TAHUN KERJA.
• Pernyataan para wakil organisasi kepanduan di Indonesia yang dengan ikhlas meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka, dilakukan di Istana Olahraga Senayan pada tanggal 30 Juli 1961. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI IKRAR GERAKAN PRAMUKA.
2. Pelantikan Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari di Istana Negara, diikuti defile Pramuka untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang didahului dengan penganugerahan Panji-Panji Gerakan Pramuka, dan kesemuanya ini terjadi pada tanggal pada tanggal 14 Agustus 1961. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI PRAMUKA.
Gerakan Pramuka Diperkenalkan
Pidato Presiden pada tanggal 9 Maret 1961 juga menggariskan agar pada peringatan\ Proklamasi Kemerdekaan RI Gerakan Pramuka telah ada dan dikenal oleh masyarakat. Oleh karena itu Keppres RI No.238 Tahun 1961 perlu ada pendukungnya yaitu pengurus dan anggotanya. Menurut Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, pimpinan perkumpulan ini dipegang oleh Majelis Pimpinan Nasional (MAPINAS) yang di dalamnya terdapat Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Kwartir Nasional Harian. Badan Pimpinan Pusat ini secara simbolis disusun dengan mengambil angka keramat 17-8-’45, yaitu terdiri atas Mapinas beranggotakan 45 orang di antaranya duduk dalam Kwarnas 17 orang dan dalam Kwarnasri 8 orang. Namun demikian dalam realisasinya seperti tersebut dalam Keppres RI No.447 Tahun 1961, tanggal 14 Agustus 1961 jumlah anggota Mapinas menjadi 70 orang dengan rincian dari 70 anggota itu 17 orang di antaranya sebagai anggota Kwarnas dan 8 orang di antara anggota Kwarnas ini menjadi anggota Kwarnari.
Mapinas diketuai oleh Dr. Ir. Soekarno, Presiden RI dengan Wakil Ketua I, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Ketua II Brigjen TNI Dr.A. Aziz Saleh.
Sementara itu dalam Kwarnas, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjabat Ketua dan Brigjen TNI Dr.A. Aziz Saleh sebagai Wakil Ketua merangkap Ketua Kwarnari.
Gerakan Pramuka secara resmi diperkenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1961 bukan saja di Ibukota Jakarta, tapi juga di tempat yang
penting di Indonesia. Di Jakarta sekitar 10.000 anggota Gerakan Pramuka mengadakan Apel Besar yang diikuti dengan pawai pembangunan dan defile di depan
Presiden dan berkeliling Jakarta. Sebelum kegiatan pawai/defile, Presiden melantik anggota Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari, di Istana negara, dan menyampaikan anugerah tanda penghargaan dan kehormatan berupa Panji Gerakan Kepanduan Nasional Indonesia (Keppres No.448 Tahun 1961) yang diterimakan kepada Ketua Kwartir Nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sesaat sebelum pawai/defile dimulai. Peristiwa perkenalan tanggal 14 Agustus 1961 ini kemudian dilakukan sebagai HARI PRAMUKA yang setiap tahun diperingati oleh seluruh jajaran dan anggota Gerakan Pramuka
Diperoleh: “http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Gerakan_Pramuka_Indonesia”

Rabu, 23 Juli 2008

100 Tahun Kebangkitan nasional

100 Tahun Kebangkitan Nasional

“Kebangkitan Nasional’ sedang hangat-hangatnya dibicarakan bahkan menciptakan kesibukan tersendiri bagi perancang dan pemikir tentang even yang baik untuk memeriahkan “100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Di sana-sini, kita juga mendengar pandangan dan ungkapan-ungkapan tentang “Kebangkitan Nasional ini”. Pendek kata, seputar “100 Tahun Kebangkitan Nasional ini, banyak hal positif kita petik, tak kalah banyaknya juga hal-hal negatif yang bermunculan.

Hal-hal positif yang bisa dipetik antara lain adalah bahwa bangsa ini masih menghargai sejarah perjuangan para perintis “Kebangkitan Nasional” yang terjadi pada tahun 1908 yang silam. Hal positif lainnya adalah munculnya para pemikir Indonesia yang berusaha menggali makna “Kebangkitan Nasional” pada zaman ini. Kita harapkan disertai dengan memikirkan bagaimana memaknai, mengisi “Kebangkitan Nasional” yang sesungguhnya seperti visi dan misi awal dari “Kebangkitan Nasional 1908″.

Hal-hal negatif yang dapat kita temukan seputar “100 Tahun Kebangkitan Nasional” banyak juga. Hal negatif dalam hal ini adalah sesuatu yang harus diluruskan, harus dibetulkan dan harus diperbaiki. Yang paling menonjol diperbincangkan adalah Kebangkitan Nasional mewarnai kehidupan ekonomi. Bangkitnya harga BBM yang sedang hangat dibicarakan. Bangkitnya harga sembako yang juga tak pernah tuntas diselesaikan. Bangkitnya para pemikir yang “mengada-ada” yang sebelumnya mengadopsi pandangan Descartes “Cogito Ergo Sum” (Saya berpikir maka saya ada). Mereka tidak berpikir jujur seperti dikatakan Descartes sehingga hasilnya pun bukan supaya “Ada” tetapi supaya “Mengada-ada”. Mereka hanya sampai pada pemikiran pengukuhan keberadaan mereka dan tidak sempat memikirkan bagaimana mereka “mengada” sebagai sebuah “ada” yang seharusnya mengada. Hasilnya: terjadi perlombaan berpikir dan berpikir. Adanya perlombaan mengeluarkan banyak kebijakan. Terjadi perlombaan menunjukkan siapa yang pintar, siapa yang pandai berargumen, siapa yang mampu berlogika. Semuanya bangkit bersama “Kebangkitan Nasional”.

Sesungguhnya, apa yang harus dibenahi? Kita lihat sekilas apa yang dikatakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang seabad kebangkitan nasional ini:

Ironisnya dalam lintasan sejarah (100 Tahun Kebangkitan Nasional) bangsa Indonesia masih dibelenggu oleh kemiskinan dan pengangguran serta dibelit oleh tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan yang rendah. Lebih lanjut Sri Sultan mengatakan, akar kemiskinan yang selama ini terjadi sebenarnya bukan disebabkan semata-mata oleh pejabat yang kurang amanah dan kurang baiknya tata kelola politik ekonomi saja, tetapi bersumber pada akar dari paradigma pembangunan itu sendiri.

Selama ini, kata dia, bangsa ini selalu meletakkan pertumbuhan dan tidak pernah meletakkan keadilan sebagai jiwa dari paradigma pembangunan. “Akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan rakyat,” jelasnya.

Dikatakannya, kebangkitan bangsa Indonesia harus dimulai dari kesepakatan untuk menghargai pluralisme dan menjadikan kebudayaan sebagai koordinat paradigma pembangunan nasional. (Antara).

Apakah benar ini menjadi akar dari semua masalah yang membuat bangsa ini jatuh bangun selama ini? Kalau benar, tentu kita harus mempunyai skala prioritas untuk memulai pembenahan. Akan tetapi, yang lucunya, ketika ditanya kita mulai dari mana, semua orang pada bingung. Ibarat kita menanyakan : “Seekor ayam asalnya dari mana? Dari Telur atau dari Induk Ayamnya?” Sesuatu yang tak berujung dan tak berawal terkurung dalam lingkaran setan. Mengapa demikian? Karena skala prioritas yang tepat belum ditemukan.

Kalau kita mengatakan: Kita mulai dari personil-personil yang berkibrah dalam mengarahkan bangsa ini, ada kebijakan, undang-undang dan peraturan yang terlalu mengikat sehingga tidak sanggup membuat gebrakan baru. Kalau kita mengatakan: kita mulai dengan menata kembali hukum kita, sementara hukum kita tidak kuat alias lemah terutama dalam hal konsistensinya sebagai hukum.

Efeknya, rakyat melihat “Kebangkitan Nasional” yang sedang digembar-gemborkan saat ini adalah “Kebangkitan Seluruh Harga (KSH), BBM, Sembako dan lain-lain. Yang terjepit lidah adalah rakyat kecil. Mudah-mudahan, justru hal ini menjadi bahan pemikiran para pakar yang berwenang di kursi pemerintahan “yang seharusnya bertanggungjawab untuk itu”.